FERYSETIAWAN09 – Sebagai negara kepulauan, sebagian besar wilayah Indonesia terpisahkan oleh perairan laut. Satu-satunya jembatan penghubung yang dapat menjangkau wilayah yang terpisah-pisah ini adalah moda transportasi udara. Namun moda ini baru terbatas dengan aerodrome (pelabuhan udara) darat saja, padahal bangsa yang lahir sebagai negara maritim ini peluang besar untuk menghidupkan transportasi berkonsep amfibi (seaplane) dengan aerodrome di perairan.

Era pemerintahan saat ini melalui visi-misi presiden (Nawacita) poin pertama menegaskan untuk memperkuat jati diri bangsa Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sejalan dengan itu, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) saat ini tengah menyiapkan aturan dan standart pengoperasian pesawat amfibi di Indonesia.

Persiapan yang dilakukan di antaranya terkait dengan aerodrome seaplane, baik di pantai maupun di sungai. Penyiapan aerodrome di perairan dinilai lebih murah biayanya dibandingkan dengan di darat.

Selain itu pencarian lokasinya juga relatif lebih mudah dan tidak banyak obstacle (hambatan) geografis dibanding di daratan yang membutuhkan lahan datar yang luas dengan obstacle yang minim. Ditjen Hubud juga sedang mengklasifikasi pesawat amfibi yang bisa beroperasi.

Segala penyiapan tersebut dilakukan agar transportasi udara di Indonesia bisa mencapai daerah-daerah terpencil dan pulau-pulau kecil sehingga terbuka dari keterisolasian. Selain itu trobosan ini juga untuk menunjang penguatan pariwisata di Indonesia, terutama nomadic tourism.

Selain itu, Kementerian Pariwisata pun sedang menyiapkan nomadic tourism di empat destinasi prioritas sebagai percontohan, yakni Danau Toba, Labuan Bajo, Mandalika dan Borobudur. Salah satu sifat pariwisata jenis ini adalah sarana amenitas atau akomodasinya bisa dipindah-pindah. Aksesibilitasnya yang sangat penting adalah seaplane yang bisa membawa wisatawan dari pulau ke pulau lain di Indonesia dengan lebih mudah dan cepat.

Akhir Maret lalu, Dirjen Hubud Agus Santoso menyebutkan bahwa institusinya sedang menyiapkan regulasinya dengan mengacu pada Annex Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), terutama annex 14 tentang Aerodromes. Acuan lainnya adalah UU no. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 74 tahun 2013 tentang CASR 139 Aerodromes.

“Sebenarnya pilot seaplane itu kan hanya justifikasi ‘si pilot’ itu. Kalau tidal-nya, wave-nya memungkinkan untuk dia mendarat, ya dia mendarat. Tapi kan di sini masih belum boleh untuk general aviation seperti itu,” terang Aryo kepada Penulis, Kamis (3/5/2018).

Di pihak lain, ada keinginan dari PT Dirgantara Indonesia (PTDI) sebagai pabrik pembuat pesawat di Indonesia untuk melengkapi pesawat yang saat ini sedang dikembangkan, N219 dengan berbagai perlengkapan amfibi.

Di China, armada seaplane dimanfaatkan untuk menjangkau remote area (daerah terisolir). Seaplane cenderung digunakan untuk konfigurasi rumah sakit (flying doctor) atau flying ambulance.

Kirim Tim ke Selandia Baru

Melihat dinamika perkembangan yang terjadi di dunia transportasi udara Indonesia, Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug sebagai industri pendidikan penerbangan tertua di negeri ini menyambut baik langkah Ditjen Hubud tersebut. Langkah taktis dan strategis pun dilakukan untuk menyambut lahirnya regulasi seaplane di Indonesia.

Di Indonesia memang sudah ada beberapa operator penerbangan yang merambah bisnis seaplane untuk mengembangkan potensi wisata, di antaranya adalah Travira Air, Air Born Indonesia dan Airfas Indonesia. Semuanya dikontrak oleh resort untuk memanjakan wisatawan mereka dengan sensasi perjalanan yang eksklusif.

Untuk mendapatkan lisensi pilot seaplane, umumnya orang-orang hijrah ke Amerika Serikat (Alaska), Kanada (Pitt Meadows) dan Selandia Baru (Auckland). Di kawasan Asia sendiri, sekolah pilot dengan kompetensi pesawat amfibi belum ada. Jika memang regulasi seaplane bisa lahir dan tidak ada hambatan untuk STPI untuk menyiapkan pendidikan pilot seaplane, STPI akan menjadi poros seaplane rating di kawasan Asia.

Awal Mei lalu STPI mengirim tim untuk berjumlah lima orang ke Selandia Baru untuk menelisik seluk-beluk pendidikan sekolah pilot amfibi. Tim yang terdiri dari empat instruktur dan Sekretaris Jurusan Penerbang STPI ini juga berkesempatan untuk menjajal pengalaman terbang dengan armada seaplane yang dimiliki Ardmore Flying School.

“Lima orang yang ke sana, saya, Pak Tri, Capt. Roy, Capt. Andrian, sama Gogor. Lokasinya di Auckland, rencana kita 10 hari di sana. Kita di sana survei, kemudian experience,” beber Aryo.

Diungkapkannya, sebenarnya rencana membuka pendidikan seaplane sudah diplot dari tahun lalu. Namun karena selama tahun 2017 ada pengutamaan anggaran untuk yang lain, akhirnya rencana tersebut baru bisa dijalankan tahun ini.

“Indonesia belum digarap serius nih seaplane-nya. Kita (STPI) kan core-nya pendidikan, belum ada (sekolah seaplane) di region Asia, paling dekat ke New Zealand,” ungkapnya.

Aryo menjelaskan, tim yang dikirim ini baru melaksanakan penjajakan terkait penjajakan kurikulum dan silabus, belum untuk belajar masif di sana. Untuk mengantongi type rating dibutuhkan waktu kurang lebih tiga bulan (based on weather) dengan 15 jam flight (15 jam takeofflanding di air), baik itu fresh water maupun perairan laut. Sayangnya tim yang berangkat belum berkesempatan mencicipi takeofflanding di perairan laut lantaran cuaca.

Buka Prodi Baru

Disebutkan di awal bahwa STPI mengirim empat instruktur penerbangnya ke Selandia Baru untuk persiapan menyambut diterbitkannya regulasi seaplane oleh pemerintah. Memang saat ini regulasi tersebut masih dalam penggodogan. Namun diharapkan, begitu regulasi ini telah diterbitkan, pada saat yang bersamaan STPI juga telah siap untuk membuka prodi baru khusus untuk pendidikan pesawat amfibi.

Untuk penjajakan kurikulum dan silabus ini tentu mengeluarkan kocek yang tidak sedikit. Hasil yang maksimal menjadi dambaan dan bukan hanya sekadar membuka prodi baru.

Jika hanya sekadar membuka prodi baru yang lebih murah biayanya ketimbang sekolah Boeing atau Airbus mungkin tidak terlalu sulit. Akan tetapi, menjamin lulusan pilot seaplane terserap pasar perlu dipikirkan masak-masak.

“Salah satu (cara) untuk grab market adalah buat simposium. Dengan simposium itu, mungkin kan selama ini orang enggak kepikiran ada moda transportasi amfibi. Selama ini kan baru dipakai untuk pariwisata,” jelasnya Aryo.

Rencananya STPI pasca lebaran (1439 H) akan menggelar simposium yang dimotori oleh Jurusan Penerbang. Tujuannya untuk mendorong para stakeholder industri penerbangan nasional untuk memaksimalkan pengembangan ekonomi nasional memalui moda transportasi amfibi di negara maritim ini, khususnya untuk pariwisata dan jalur perintis.

“Di simposium itu kita undang daerah-daerah yang punya potensi wisata dan dari (stakeholder penerbangan) perintis. Memang fungsinya dari pendidikan kan itu, untuk mendorong sektor-sektor industri agar berkembang. Mudah-mudahan setelah lebaran kita sudah buat simposium itu,” ungkapnya.

Gaet Pemda

Untuk membuka prodi baru khusu untuk seaplane, tentu STPI perlu bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki fasilitas yang dibutuhkan. Salah satu langkahnya dengan menggaet pemerintah daerah (pemda).

“Kita kerja sama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Pesisir Barat, Lampung, sedang dijajaki. Kemudian ada beberapa titik untuk seaplane airport sedang dibangun, nanti kita tinggal pilih saja mana yang lebih dekat,” sambung Ketua STPI Capt. Novyanto Widadi, S.AP, MM.

Soal armana pesawat amfibi yang cukup menguras kocek bila dibeli, Ketua STPI yang akrab disapa Novi ini menyebutkan bahwa perkara itu ada solusinya. STPI tidak berencana untuk beli pesawat, cukup dengan hire (sewa) ke pihak lain. Yang terpenting adalah mengantongi seluk-beluk soal pendidikannya.

Terkait dengan penjajakan kerja sama, Pemda Pesisir Barat memiliki fasilitas yang diperlukan seperti area latihan untuk fresh water di Danau Ranau dan banyak spot untuk area latihan lautnya.

“Kemarin sempet survei ke sana, kalau base kita bisa di Krui. Untuk spot laut memang di situ ombaknya lumayan besar, tapi paling enggak kita bisa geser ke bawah lagi, tapi tetap base-nya enggak terlalu jauh. Jadi nanti kita semua geser semua prodi (seaplane) itu di sana,” pungkas Aryo.